Darurat Harga Beras

Hari ini jadwal membeli beras karena persediaan sudah menipis. Biasanya, periode membeli beras kisaran 1,5- 2 bulan sekali, kapasitas 10 kg. Rada lupa kapan terakhir beli, tapi sekitaran akhir tahun lalu, dengan harga Rp 165.000,00/10kg. Harga ini sudah beberapa kali mengalami kenaikan, salah satu yang dapat dimaklumi adalah karena dampak el nino yang menyebabkan gagal panen, salah lainnya, ya entah apa itu. Dipikiran masyarakat kelas menengah ke bawah ya sudah tentu waktu itu “oh paling nanti tahun depan sudah turun lagi harganya, kan emang biasanya gitu, kenaikan harga mentok di momen nataru”. Tapi ya memang sebagai manusia tidak boleh banyak berharap pada ketidakpastian, ya kan? Hingga tibalah di depan lapak bapak agen beras langganan, yang mengantarkan pada pahitnya kenyataan:

“Beras xxxx berapa Pak?”

“Sekarang Rp 190.000,00. Naik terus neng harganya tiap hari”

Jelas terkejut bukan main ya, dalam waktu kurang dari 2 bulan, kenaikannya hampir Rp 25.000,00/10 kg. Jiwa emak-emakpun tentu tidak tinggal diam menerima kenyataan yang mengejutkan ini (meski harus berkhianat dikit dari bapak langganan, demi keamanan kantong pelajar) Ikhitiar tentu harus tetap jalan, tanya di satu agen ke agen lain, dan hasilnyapun sama: “Harga beras terus naik setiap hari”.

*************

Sungguh ironi tentunya, negara agraris tapi supply-demand selalu menjadi alasan untuk terus melakukan impor dengan dalih terpenuhinya kebutuhan, plus mencapai kestabilan harga. Sayangnya, makin hari kenaikan harga makin tak terkendali, sampai berandai-andai harga turunpun rakyat bawah tidak berani. Belum lagi di sisi petani yang seolah menjadi aktor penuh sekaligus penanggung jawab ketidak mampuan mencukupi kebutuhan pangan seluruh penjuru negeri.

Kalau ditanya, salah siapa? Tentu kita semua akan sepakat menjawab “Salah Kebijakan”. Karena selain realita, memang dari beberapa hal dalam hidup ini, bagian paling menyenangkan adalah menyalahkan dan mencari-cari kesalahan pihak lain, betul begitu? Hehe--

Tingginya biaya produksi, sudah pasti jadi salah satu faktor utama. “Pupuk subsidi yang terbatas”, memang nyata adanya. Sedangkan pupuk merupakan sumber nutrisi penting bagi tanaman, sehingga pertanian tanpa pupuk, bisa apa? Beralih ke pupuk non subsidipun, hasil panen yang ‘seminimal mungkin’ tentu tidak dapat menutup biaya produksi. Disisi lain, lebih dari 70% pemenuhan pupuk untuk pertanian di Indonesia masih disupplay dari impor, seperti Kanada, Tiongkok dan Rusia. Dalam kondisi dunia yang tidak stabil ini, impor dari negara lain tentu tidak bisa menjadi jaminan. Konflik perang, dan kebijakan masing-masing negara yang ‘cari aman’ untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri sudah pasti berimbas pada turunnya pasokan untuk negara-negara importir sehingga berujung pada kelangkaan dan kenaikan harga. Tiongkok misalnya, negara produsen sekaligus konsumen pupuk urea terbesar di dunia, mulai membatasi ekspor sebagai antisipasi cuaca ekstrem yang mengancam pertanian mereka, yang mengakibatkan lonjakan harga pupuk di pasar global.

Dengan kondisi yang tidak jauh berbeda, tingginya biaya produksi juga menimbulkan gejolak bagi pertanian di negara-negara Eropa. Demonstrasi besar-besaran petani di beberapa negara seperti Jerman dan Spanyol menuntut kebijakan pemerintah menekan kenaikan harga bahan bakar yang mengakibatkan biaya produksi terus meningkat, rumitnya sistem birokrasi pertanian, kebijakan melawan impor yang menjatuhkan petani lokal hingga kecaman untuk menolak penghapusan subsidi pupuk dan diesel untuk pertanian.

Jika melihat secara umum, kondisi pertanian di seluruh dunia memang tidak sedang baik-baik saja. Lalu, bagaimana dengan janji para capres yang sering digembar-gemborkan? Apakah masih masuk akal dan dapat dipercaya?

Yang pasti pembenahan pertanian tidak mudah. Terlebih hingga sekarangpun nampaknya Indonesia belum menemukan jati diri sistem pertaniannya seperti apa, mau dan harus bagaimana. Kok bisa? Ya karena setiap ganti pemimpin ganti kebijakan. Capaiannya sebatas pada laporan administrasi tahunan. Tidak peduli bagaimana realisasi di lapangan, yang penting ‘Siap Bapak’ dan laporan aman.

Validasi data. Baru hari ini baca berita yang disampaikan Kepala Bapanas soal kenaikan harga beras, seperti ini beritanya kira-kira: “Mahalnya harga beras karena RI kekurangan stok 2,8 juta ton pada periode Januari-Februari 2024, ini imbas el nino tahun lalu yang menyebabkan gagal panen”. Padahal, bulan lalu Bapanas mengklaim cadangan beras di Bulog masih aman diangka 1,4 juta ton dan saat ini masih terus melakukan impor untuk menjaga stok tetap aman menjelang hingga akhir pemilu. Tentu semua pasti akan bertanya-tanya ‘Kok bisa? Ada yang sabotase apa gimana?’. Entahlah, segala yang ghaib bukan ranah manusia, anggap saja begitu. Tapi yang perlu menjadi catatan keras adalah Data Pertanian Yang Tidak Pernah Valid!

Bagaimana bisa menghitung proyeksi produksi di masa depan kalau data dasar untuk perhitungannya saja tidak ada yang valid? Kenapa bisa tidak valid? Ya karena dapat datanya saja diawang-awang. Beda instansi beda data. Data diperoleh dengan taksiran dan kira-kira, yang mengacu pada laporan yang rapih dan dilanjutkan setiap tahunnya. Miris.

Hasil sensus pertanian yang dilakukan 10 tahun sekali, selalu menunjukkan penurunan dibandingkan pendataan terakhir maupun proyeksi yang dilakukan setiap tahun. Kok bisa? Ya tergantung bagaimana metode perhitungannya, namanya juga proyeksi = prediksi. Tapi seharusnya untuk mengambil sebuah kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak (impor misalnya), harus benar-benar dilakukan dengan data real dengan error seminimal mungkin. Kadang berpikir dan heran, ‘apa ya seberat itu beban administrasi instansi-intansi pemerintah, terutama yang di daerah-daerah, sampai-sampai sekedar untuk mengumpulkan data valid pertanian di daerahnya minimal satu tahun sekali saja tidak mampu? Padahal katanya sudah banyak aplikasi yang memudahkan pengumpulan data satu pintu, tapi kok ya cuma formalitas, data tidak pernah update’.

Tapi ya sudahlah, hal-hal yang bukan di ranah kita, tidak wajib dijawab, jatohnya ‘sok tau’.

Yang pasti, sebagai masyarakat biasa, hanya dapat berdoa (jangan banyak berharap), semoga harga beras yang menjadi makanan pokok, khususnya bagi kaum “nek durung mangan sego durung mangan”, kembali stabil.

Komentar