Tjatatan 2: Karena semua orang memiliki hak untuk berbeda

Sore itu aku bertemu temanku, setelah beberapa kali mengatur waktu bertemu yang selalu gagal. Nampak kelegaan dari raut wajahnya, setelah “setengah beban hidup” (katanya), akhirnya tuntas.

A= aku, T= temanku.

A: “Apa rencanamu setelah ini?”

T: “Belum tau. Tapi sepertinya aku ingin postdoc dulu, atau jadi peneliti. Bagaimana denganmu?”

A: “Masih tetap sama, dosen. Ngga pengen jadi dosen?”

T: “Belum tau. Mungkin nanti coba, tapi aku tidak terlalu tertarik. Aku masih haus ilmu. Aku pengen jadi peneliti saja. Teman-teman kita juga, banyak yang sekarang postdoc. Kamu ngga pengen postdoc?”

A: “Aku tidak tertarik. Pengen jadi dosen saja, dan beternak di kampung halaman”

 

********

Dari percakapan ini, aku berpikir: Apakah memang seperti ini standar umum lulusan tingkat pendidikan tertinggi? Menjadi dosen atau peneliti. Atau apapun itu yang berkaitan dengan label “manusia-manusia pintar”? Apakah aneh jika aku ingin beternak? Bahkan aku ingin menjadi dosen bukan karena profesi. Bukan karena dosen adalah si paling ahli yang mengajari. Aku hanya ingin memberi apa yang sudah banyak ku terima. Bukankah sebaik-baik ilmu adalah yang bermanfaat (untuk kebaikan)?

Tanpa disadari, pemikiranku tentang ini sangat berpengaruh pada caraku menjalani hari-hari yang jujur saja sungguh tidak nyaman. Aku memaksa diriku mengikuti standar orang pada umumnya. Disisi lain, ketika orang lain menyampaikan pandangan hidupnya (sesuai standar pada umumnya tadi), dalam hati kecil ini tidak dapat menerima. Padahal aku juga ingin menjadi “standar pada umumnya” seperti mereka. Rumit sekali rasanya isi kepalaku yang selalu tidak sinkron dengan hati, dan selalu berujung pada keterpaksaan dengan penerimaan kondisi yang sebenarnya tidak ingin ku jalani.

Tapi perlahan aku menyadari, sepertinya ini lebih pada soal bagaimana aku “menghargai” pilihan orang lain dan pilihanku sendiri. Aku tidak menghargai pilihanku karena kondisi yang “ingin sama”. Dan disisi lain hatiku tidak menghargai pilihan orang lain karena tidak sesuai dengan cara pandangku.

Seperti contohnya saat aku melihat postingan temanku di sosial media, yang sangat menggemari kpop (kpopers). Aku menganggapnya aneh, karena diluar standar. Disaat teman-temannya yang lain posting akademik, materi, publikasi, sharing gagasan, sebagai wujud citranyanya sebagai “seseorang dengan pendidikan tertinggi”, temanku malah membagikan aktivitas idol kpop favoritnya, jadwal comeback, koleksi album dsb. Apakah salah? Tentu tidak.

 

Karena semua orang memiliki hak untuk berbeda.

Komentar