Tjatatan 1: Nanti diakhir saja, saat semuanya sudah selesai

Aku tidak tau akan mulai menulis dari mana. Tadinya aku berpikir, mungkin nanti di akhir saja menulisnya saat semuanya sudah selesai. Tapi bukan kah tidak ada yang benar-benar selesai dalam hidup kecuali kita sudah tidak hidup?

“Nanti diakhir saja, saat semuanya sudah selesai”, sepertinya bisa dimulai dari sini.

Beberapa waktu kebelakang aku sangat membenci kata “nanti”. Setiap kata itu muncul, seketika itu pula dalam pikiranku penuh dengan umpatan “dasar pemalas, bodoh, tidak berguna” dan respon itu diterima sampai ke hati dalam bentuk “penyesalan, sedih dan keputusasaan”. Sangat ekstrem, dan hal itu terus berulang setiap harinya.

“Nanti”, begitu melekat dengan ajaran agama tentang “menyegerakan sesuatu (kebaikan), dan tidak menunda-nunda”. Jadi jika aku tidak cepat dan bersegera, aku langsung menganggap diriku gagal dalam salah satu aspek menjadi muslim yang benar sesuai yang diajarkan. Seperti itu kira-kira settingan di otakku dalam menarik kesimpulan. Menunda = pemalas.

Namun memang dalam menyikapi berbagai hal, kita memerlukan banyak sudut pandang. Dan permasalahan “nanti” yang terus berulang dalam hidupku sebenarnya adalah tentang “kesempurnaan”. Aku ingin semua harus sempurna, sehingga “ya nanti saja dulu”. Kesempurnaan yang aku ciptakan sendiri dengan standar idealku. Yg apakah ada titik selesainya? Tentu saja tidak. Karena manusia selalu berubah, hatinya tidak tetap dan selalu terbolak-balik. Dan pada akhirnya aku terjebak pada apa yang ingin aku lakukan, namun tidak pernah tercapai karena standar kesempurnaan yang kubuat sendiri.

Contohnya saja saat menulis ini: “Nanti di akhir saja menulisnya saat semuanya sudah selesai”, yang maksudnya adalah “biar tulisannya rapi dan enak dibaca”. Jika menulis ketika dalam proses, pasti akan sangat berantakan. Ya, begitu. Bahkan tanpa sadar aku lupa, bahwa blog ini aku buat hanya karena kesenangan, karena aku suka dan ingin menulis, bukan karena menulis agar terbaca sempurna. Ternyata memang “kesempurnaan” ini telah banyak menghilangkan hal-hal penting dan menyengangkan yang menjadi bagian dari hidupku.

Ah bukan, lebih tepatnya: Aku kehilangan diriku hanya karena ingin sempurna.

Mulai dari sini, aku akan mencoba memperbaiki lagi, karena “sempurna itu tidak penting”.

Komentar