15.30 : Jalan Raya Bogor.
“jangan menyerah
ohhh…”
Tiga pengamen beratribut
gitar dengan bekas air minum dalam kemasan terpasang diujungnya, berada di
depanku membawakan lagu D’Masiv “Jangan Menyerah”. Sangat jarang menemukan pengamen
membawakan satu lagu full, terlebih dibawah perempatan lampu merah yang harus
berpacu dengan waktu serta rintik hujan yang tinggal menunggu hitungan menit
lagi jatuh ke tanah. Yang kerap kali ada dipikiranku ketika ada pengamen datang
menghampiri suatu gerombolan adalah mereka akan memberi uang agar pengamen
lekas pergi, atau menunggu sampai pengamen selesai bernyanyi baru diberi uang?
Dan berdasarkan pengamatan, rata-rata opsi pertama lebih banyak dipilih, entah
barangkali mereka tidak terlalu suka musik atau kehadiran pengamen dirasa menggangu
quality time mereka. Aku sendiri
lebih suka opsi kedua, kalau perlu sampai membawakan satu album baru diberi
uang hehehe…
Ku rogoh saku jaketku dan menemukan satu koin uang 500 rupiah, lalu ku
masukkan kedalam tempat bekas air minum yang ada diujung gitar mas-mas pengamen
saat mereka berjalan menghampiri para pengemudi yang tertahan lampu merah. Tak
beberapa lama, lampu berubah hijau, tanda harus berjalan. Disaaat mulai
menjalankan laju motorku dan menyalip beberapa kawanan angkot, pikiranku teringat
pada satu benda yang ku temukan disaku jaketku tadi. Uang koin.
Di jaman milenial
sekarang ini, dimana hampir semua aktivitas bermigrasi kearah digital, tentu
posisi uang koin akan semakin tersisihkan dan ‘kurang dianggap berharga’. Disadari atau tidak, memang seperti itu
keadaannya. Transaksi berbayar dengan uang cash
mulai ditinggalkan, dan pergerakan itu berjalan cepat sekali.
Seperti saat
beberapa waktu lalu saat berkumpul dengan kawan-kawan lama.
”Aku bayar transfer aja
yaa…”
“Eh
ada g*p** ga? Aku bayar pakai g*p** yaa…”
Dulu, sekitar dua tahunan
yang lalu, setiap kumpul dengan teman-teman dan iuaran bayar makan, selalu
memakai uang cash, bahkan kalau perlu
bayar pakai koin-koin seratusan (maklum mahasiswa). Sekarang kebiasaan itu
sudah mulai tergantikan, karena dianggap “ada
teknologi yang mempermudah, kenapa cari yang susah?”.
Pun juga beberapa hari
lalu ketika beli gorengan,
“Pak saya bayar pakai
receh yaa”
“Wah,
receh berapaan neng?”
“lima
ratusan Pak, gimana?”
“Oh
iya ngga apa-apa, kirain teh yang seratusan”
Disitu aku berpikir,
barangkali keberadaan uang koin seratus dua ratus sudah tidak diinginkan.
Seperti juga ketika berbelanja di minimarket dan ada sisa kembalian seratus rupiah,
selalu mbak-mbak kasir bilang, “Seratusnya boleh di donasikan?”
Melihat keadaan seperti
ini, sudah dapat dipastikan existensi uang koin tidak akan bertahan lama. Jika
dilihat dari segi ekonomis dan kepraktisan, memang lebih mudah melakukan segala
transaksi berbayar dengan elektronik. Tidak perlu menggunakan material logam
atau kertas sebagai alat untuk pembayaran, yang nantinya pasti akan diarahkan
kepada goal menjaga sumber daya alam
agar tidak lekas habis.
Diluar dari itu,
tiba-tiba pikiranku kembali pada masa SD. Dimana anak-anak jaman dahulu
rata-rata belajar menabung dari uang koin. Bahkan mungkin hampir semua anak
punya celengan dirumah mereka. Betapa senangnya mengumpulkan uang-uang koin
jika ada sisa dari uang saku yang diberikan orang tua untuk jajan di sekolah
hari itu. Dari uang koin, anak-anak belajar untuk bersabar dan menunggu sampai
celengannya penuh dan membeli barang yang mereka inginkan. Dari uang koin,
anak-anak belajar untuk berhemat dari apa yang diberikan.
Yahh… beberapa tahun
lagi, barangkali uang koin hanya benar-benar ditemukan di musim atau di
gambar-gambar mesin pencari atau pada hologram yang ada dikelas-kelas sebagai
pengganti belajar mengajar para guru.. hehehe..
Komentar
Posting Komentar