Ini adalah waktu
dimana seharusnya aku nyambi belajar karena besok UTS atau ngerjain tugas yang
dari kemarin ngga digarap-garap atau ngerjain proposal yang sama sekali ngetik
sekata pun belum. Tapi magnet untuk menulis dikereta sungguhlah godaan yang tak
tertahankan,setelah sekian dekade tidak menulis. Cuaca yang mendung, pemandangan
di sepanjang perjalanan yang dipenuhi jajaran para petani yang tengah menyambut
padi yang mulai menguning tanda panen raya, serta lagu berlari tanpa kaki the
overtunes yang menambah kesyahduan hati yang rasanya mudah sekali untuk
terbolak-balik.
Dikereta, menuju
Jogja.
30 Maret 2019
Dulu lucu sekali
melihat kisah cinta orang-orang yang tetap bersikeras mempertahankan hubungan
mereka meski terhalang oleh keyakinan. Sekeras apapun berusaha menerima
keyakinan satu sama lain, mengamini bahwa cinta itu fitrah dan perbedaan
bukanlah halangan, tapi tetap saja, kepercayaan masing-masing terhadap penciptaNya
berbeda, Tuhan mereka berbeda. Mau memaksakan apalagi? Pun juga kisah cinta
orang-orang yang tidak direstui orang tua. Beberapa ceramah alim ulama kerap mengatakan,
“solusi untuk dua orang yang saling
mencintai adalah menikah” , sedangkan menikah bukan hanya perkara cinta,
tapi juga menyatukan dua keluarga. Ketika usiamu hampir mencapai 25th,
persoalan-persoalan seperti ini rasanya akan semakin kompleks dan tidak se sepele
dulu jaman remaja yang melihat percintaan orang-orang begitu unik.
************
Aku Deandra,
usiaku 24 tahun. Beberapa bulan lalu aku diterima bekerja disalah satu lembaga social,
kerjasama negaraku dengan PBB. Ini adalah pekerjaan idamanku, dimana aku tidak
akan menyianyiakan kesempatan dimasa-masa produktifku untuk mengeksplore semua
yang aku inginkan (dan menomor duakan
menikah? Ahh tunggu dulu, calonnya aja belum ada kok). Ditempat kerjaku,
banyak sekali rekan-rekan baru yang berasal dari seluruh pelosok negeri. Beragam
suku, budaya, adat, dan agama dari mereka, rasanya cocok sekali untuk menunjang
teamwork yang memang mengharuskan
kami kuat bekerja dilapang. Tim baruku
berisi 10 orang. Dari 10 orang, masih dibagi lagi menjadi kelompok kecil. Masing-masing
kelompok berisi 2-3 orang. Tempat tugas pertamaku adalah pelosok Papua, di Kabupaten
Sorong. Aku satu tim dengan temanku dari timor, Namanya Taufiq. Dia bukan asli
timor, keluarganya asli bugis. Pertama kali disatukan dalam satu kelompok,
sepertinya anak ini normal-normal saja, pikirku dalam hati. Dan benar saja,
setelah melewati tahapan-tahapan training sebelum kami siap diterjunkan ke lapang
aku merasa dia partner yang baik. Sampai akhirnya perjalanan panjangpun
dimulai.
Tugas 1:
Dua bulan masa
training kurasa sudah cukup menjadi bekalku untuk menghadapi medan berat nanti
dilapang. Penerjunanpun dimulai. Tugas pertama kami adalah memberikan program
mandiri pangan untuk solusi gizi buruk yang banyak ditemukan disana. Berdasarkan
arahan bapak Inspektur, untuk mencapai lokasi, aku dan Taufiq harus melewati
beberapa transit bandara, menjangkau kabupaten dengan pesawat baling-baling, menumpang
truk material tambang serta berjalan belasan kilometer diterik siang.
“Fix ya Fiq,
kita berangkat jam 3 pagi besok, pesawat kita sebelum subuh. Jangan sampai bangun
telat”
“Bangunin jangan
lupa”
Taufiq adalah
anak yang rajin. Anak lapang banget. Setiap hari bangun sebelum subuh, dan usai
subuh selalu menyempatkan jogging keliling mess.
“Dea, jangan
lupa wudhu dari sini, kita jaga wudhu, nanti sholat dipesawat aja”
Taufiq juga seorang
lelaki yang baik agamanya. Selalu mengingatkan untuk jangan meninggalkan
sholat, dan niatkan semua pekerjaan karena Allah. Hal yang aku ingat sebelum
terjun di tugas pertama adalah ketika aku bilang,
“Fiq, nanti
disana lapangan banget pasti kan ya, kalau aku pakai rok bakal kesusahan,
gimana yah?”. Beberapa bulan terakhir memang aku sedang berusaha untuk membiasakan
diri memperbaiki apa yang ku kenakan, dan belajar memperbaiki semua yang belum
baik.
“Yaudah pakai
celana aja, tapi yang longgar. Awas aja kalau pakai yang ketat-ketat!”. Dalam beberapa
hal, Taufiq adalah orang yang bawel, meskipun usianya selisih beberapa bulan
dibawahku, tapi untuk urusan menegur ketika salah, dia sangat terbuka. Banyak
persamaan yang ku temukan antara sifatku dan Taufiq. Itulah yang menjadikan tim
kami selalu menjadi juara selama masa training, sampai-sampai trainer selalu
bilang, “kalian pasangan yang kompak banget, cocok!”
Banyak dari
teman-temanku yang selalu menjodohkan aku dan Taufiq, tapi ada satu hal yang
membuat kami “tidak mungkin bisa bersama” yang menjadikan kami saling paham
posisi masing-masing dan mengantisipasi adanya perasaan lebih sejak awal.
Tapi sekali lagi,
tidak ada persahabatan yang benar-benar persahabatan antara laki-laki dan
perempuan.
Bersambung…
Komentar
Posting Komentar