Ini adalah tulisan pertama
tentang dunia peternakan di blog ini. Dulu jaman semester awal kuliah, saat
masih aktif menjadi anggota redaksi organisasi pers (eaaakk), menulis berita
peternakan sudah jadi hal wajib. Tapi ya, menulis dengan deadline dan bahasa yang kaku itu itu seperti rasa cinta yang
dipaksakan. Hmm..
**********
Beberapa hari
terakhir, berita kenaikan harga ayam dan turunannya melonjak cukup fantastis. Update
info kemarin dari teman, untuk harga ayam hidup dengan berat 0,7-1kg berkisar
Rp 36.500, sedangkan untuk boneless dikisaran
Rp57.000-Rp65.000. Hmm, padahal 4 bulan lalu, untuk harga boneless masih ada dikisaran Rp37.000. Begitupun harga telur. Untuk
saat ini harga telur di pasar berada dikisaran Rp28.000-Rp30.000/kg, bahkan
lebih. Lebih miris lagi, dari berita yang saya peroleh beberapa hari lalu, di
Ternate bahkan harga 1kg telur mencapai Rp40.000. Wow! Kira-kira, kenapa hal
tersebut bisa terjadi?
Seperti yang
kita tau, biaya produksi terbesar dari pemeliharaan ternak adalah biaya pakan. Hampir
70% faktor penentu produktivitas ternak tergantung dari pakan, baru sisanya
adalah faktor genetic dan lingkungan. Sedangkan harga pakan ternak diprediksi
masih akan terus naik dalam beberapa waktu kedepan. Kenaikan disebabkan
pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan harga bungkil kedelai.
Sedangkan untuk bahan pakan ternak sendiri, 55% masih disupport dari import,
sehingga pastilah ketika rupiah melemah maka akan langsung berdampak pada harga
pakan ternak. Hmm terus naon ieu?
Terlepas dari harga pakan, saya jadi ingat tentang kebijakan pemerintah berupa larangan penggunaan AGP sejak awal bulan Januari lalu. AGP (Antibiotic Growth Promoters) adalah
pakan imbuhan yang diberikan pada ternak unggas, berupa antibiotic untuk
pertumbuhan. AGP pun sebenarnya sudah banyak digunakan para peternak sejak
dulu, khususnya peternak rakyat. Keberadaan AGP sebagai antibiotic untuk
pertumbuhan dirasa sangat membantu peternak, terlebih ternak unggas yang memang
sangat rawan terkena penyakit serta dapat memberikan performa maksimal
khususnya untuk jenis ayam pedaging.
Lah, lalu kenapa AGP dilarang? Dilarangnya
penggunaan AGP karena menimbulkan residu yang dikhawatirkan dapat menimbulkan
resistensi bagi orang yang mengkonsumsi daging dan telur. Terlebih jika
penggunaan AGP yang terkadang tidak sesuai dosis.
Nah, lalu bagaimana solusinya? Sudah banyaaaakk
sekali penelitian penggunaan bahan alternatif pengganti AGP, tapi mungkin
aplikasinya yang belum maksimal. Untuk industri besar mungkin sudah banyak alternatif,
salah satunya dengan menggunakan probiotik atau enzyme. Tapi yang menjadi PR
adalah untuk peternak rakyat. Seperti yang kita tau, masih banyak ditemukan di
desa-desa, kondisi peternakan unggas khususnya untuk skala kecil masih
menggunakan sistem pemeliharaan yang sangat sederhana, dimana potensi penyakit masih
sangat tinggi jika tidak dibarengi dengan penggunaan antibiotic.
(Pembahasan AGP lebih dalam mungkin di
tulisan berikut-berikutnya ya… heheh)
Jadi sudah sedikit
banyak kebayang ya, gimana dampak kenaikan harga ayam dan telur terhadap
peternak khususnya peternak skala kecil. Selain end customer, hal ini juga sangat berdampak khususnya pada industry
pengolahan pangan yang menggunakan bahan baku daging dan telur. Mau tidak mau,
harus mencari alternatif bahan dengan kualitas tetap baik kan jika harga jual
produk tidak naik (Hmmm liyeur euy *jadi
curhat*).
Kira-kira langkah apa ya yang harus ditempuh
untuk mengatasi masalah seperti ini?
Opini dari saya
sih, mungkin impor bahan baku bisa dikurangi ya, dengan cara memaksimalkan
sumber daya yang ada. Potensi sumber daya alam Indonesia untuk digunakan
sebagai bahan pakan masih sangat besar, hanya saja mungkin teknologi pengolahan
dan pemanfaatannya yang masih kurang maksimal untuk diaplikasikan. Selain itu, mungkin
ada baiknya untuk komoditi utama seperti ambil saja contoh jagung, yang saat
ini produksi melimpah dan pemerintah sedang gencar-gencarnya untuk melakukan ekspor
jagung. Mungkin ada baiknya pemenuhan kebutuhan jagung dalam negeri dipenuhi
terlebih dahulu, baru ekspor. Dengan tujuan, agar harga bahan dalam negeri
stabil, dan ketersediaan tetap terjaga. Heheh…
Yah, tapi bagaimanapun, semoga segera ada
titik terang untuk dunia per-ayam-an. Kasian nasib anak kost, disaat harus
merantau dan tetap menjaga gizi makanannya untuk dapat maksimal dalam menunjang
pencarian ilmu, tapi harga nasi telor di aa’ Burjo sudah tidak bersahabat.
Komentar
Posting Komentar